Djokosudjono, salah seorang pemikir dan pendiri serikat buruh kereta-api, di tahun 1950-an menegaskan, "pemerintah tidak perlu kuatir kalau hak mogok di tangan kaum buruh akan digunakan secara sembarangan, sehingga mengacaukan perekonomian negara." Buruh cukup mengerti dan hati-hati menggunakan senjata mogok ini. Sejarah telah membuktikannya. Sebelum tahun 1950 hampir tidak ada pemogokan.
Buruh merasa pada waktu itu tidak ada kepentingan untuk mogok. Kepentingan mempertahankan negara yang baru merdeka menjadi lebih penting. Imperialisme Belanda, yang hendak kembali menjajah, menjadi musuh utama yang harus dihadapi. Tetapi, setelah 1950 pemogokan kembali ramai. Tatkala itu perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) selesai ditandatangani. Apa penyebabnya? Perusahaan-perusahaan modal asing, yang saat revolusi berhasi direbut kaum buruh, harus dikembalikan kepada pemilik semula. Inilah pemicunya. Berdasarkan statistik Kementerian Perburuhan, di tahun 1951 terjadi 541 kali pemogokan. Pemogokan tersebut diikuti oleh 319.030 buruh, dan berakibat hilangnya 3.719.914 hari kerja. Di tahun 1952 terjadi 4.003 perselisihan perburuhan. Ini berarti 45% lebih banyak jika dibanding tahun 1951. Dalam kenyataannya yang terjadi sesungguhnya lebih banyak dari catatan pemerintah. Penyerahan kembali perusahaan-perusahaan yang telah berhasil direbut, membuat buruh mengerti bahwa kemerdekaan telah dikurangi. Suatu hal yang tak dapat dimengerti adalah sikap pemerintah yang mengeluarkan Peraturan Larangan Mogok dan lock-out (pnutupan pabrik). Peraturan ini ditegaskan dengan Undang-Undang Darurat No. 16. Undang-Undang inilah yang kelak mendorong terbentuknya Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Pihak-pihak yang berselisih harus memberi tahu kepada P4P tiga minggu sebelumnya jika hendak melakukan aksi. Setelah menerima surat pemberitahuan, P4P diharuskan memberi tahu Menteri perburuhan. Kemudian P4P berhak mengadakan angket yang tak boleh ditolak oleh pihak-pihak yang berselisih. Ini berarti tidak lain memindahkan hak mogok dari tangan buruh kepada P4P (baca pemerintah). Padahal hak mogok adalah hak azasi kaum buruh. Hak ini dijamin oleh UUD 1945, pasal 21. Hak ini tidak boleh dipindahkan, sekalipun kepada pemerintah. Tiap usaha-usaha pemerintah untuk memindahkan hak azasi ini ketangannya berarti suatu perampasan, dan tidak sah. Namun tetap saja hal itu terjadi. Di dalam komposisi P4P pemerintah tetap menginginkan perimbangan 5:3:3, yaitu 5 wakil Pemerintah, 3 wakil buruh dan 3 wakil majikan.